berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan. Dalam bahasa Makassar, kata “Bodo” berarti pendek. Baju Bodo atau Waju Tokko, sudah dikenal oleh
masyarakat Sulawesi Selatan sejak pertengahan abad IX (pen), hal ini diperkuat dari sejarah kain Muslin, kain yang digunakan sebagai bahan dasar Baju Bodo itu
sendiri. Kain Muslin adalah lembaran kain hasil tenunan dari pilinan kapas yang dijalin dengan benang katun. Memiliki rongga dan kerapatan benang yang renggang menjadikan kain Muslin sangat cocok untuk daerah tropis dan daerah beriklim kering. Kain Muslin (Eropa) atau Maisolos (Yunani Kuno), Masalia (India Timur) dan Ruhm (Arab), tercatat pertama kali dibuat dan diperdagangkan di kota Dhaka, Bangladesh, hal ini merujuk pada catatan seorang pedagang Arab bernama Sulaiman pada abad IX.
Sementara Marco Polo pada tahun 1298 Masehi, dalam bukunya The Travel of Marco Polo, menjelaskan bahwa kain Muslin itu dibuat di Mosul (Irak) dan dijual oleh pedagang yang disebut “Musolini”. Uniknya, masyarakat Sulawesi Selatan
sudah lebih dulu mengenal dan mengenakan jenis kain ini dibanding masyarakat Eropa, yang baru mengenalnya pada abad XVII dan baru populer di Perancis pada abad XVIII. Sehingga tidak janggal jika pada tahun 1930-an, masih banyak ditemui perempuan Bugis- Makassar memakai Baju Bodo/Waju Tokko tanpa memakai penutup dada. Masuknya Islam dan Munculnya Baju La’bu Meski ajaran agama Islam sudah mulai menyebar dan dipelajari oleh masyarakat di Sulawesi sejak abad ke-5,namun secara resmi baru diterima sebagai agama kerajaan pada abad ke-17.
Baju Bodo menjadi asing dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Larangan ini muncul mengingat penerapan syariat Islam yang diusung oleh pergerakan DII/TII. Tak pelak, pelarangan ini menjadi isu besar dikalangan para pelaku adat dan agamawan .Dalam ajaran agama Islam ditegaskan bahwa, pakaian yang dibenarkan adalah pakaian yang menutup aurat, tidak menampakkan lekuk tubuh dan rona kulit selain telapak tangan dan wajah. Kontroversi ini kemudian disikapi bijak oleh kerajaan Gowa, hingga muncullah modifikasi baju bodo yang dikenal dengan nama Baju La’bu (serupa dengan Baju Bodo, tetapi lebih tebal, gombrang, panjang hingga lutut) Perlahan, Baju Bodo/Waju Tokko yang semula tipis berubah menjadi lebih tebal dan terkesan kaku. Jika pada awalnya memakai kain muslin, berikutnya baju ini dibuat dengan bahan benang sutera.
Bagi golongan agamawan, adanya Baju La’bu ini adalah solusi terbaik, tidak melanggar hukum Islam dan juga tidak menghilangkan nilai adat Warna dan Arti Menurut adat Bugis, setiap warna Waju Tokko yang dipakai oleh perempuan Bugis menunjukkan usia ataupun martabat pemakainya. Anak dibawah 10 tahun memakai Waju Tokko yang disebut Waju Pella-Pella (kupu-kupu), berwarna kuning gading (maridi) sebagai pengambaran terhadap dunia anak kecil yang penuh keriangan. Warna ini adalahanalogi agar sang anak cepat matang dalam menghadapi tantangan hidup. Umur 10-14 tahun memakai Waju Tokko berwarna jingga atau merah muda. Warna merah muda dalam bahasa Bugis disebut Bakko, adalah representasi dari kata Bakkaa, yang berarti setengah matang. Umur 14-17 tahun, masih memakai Waju Tokko berwarna jingga atau merah muda, tapi dibuat
berlapis/ bersusun dua, hal ini dikarenakan sang gadis sudah mulai tumbuh payudaranya.
dalam bahasa Bugis disebut maddara takku (berdarah bangsawan) memakai Waju Tokko berwarna hijau.
Ada pula yang menambahkan bunga sebagai penghias di rambut. Selain untuk acara adat seperti upacara pernikahan, Baju Bodo/Waju Tokko saat ini juga dipakai untuk menyambut tamu agung dan acara lainnya seperti menari.
the and
Tidak ada komentar:
Posting Komentar